Friday, August 29, 2008

Marketing 2.0

oleh : Hermawan Kartajaya
CEO of MarkPlus Inc.

Internet telah berubah wujud, menjadi 'mutan' yang sama sekali lain. Tepatnya sejak Tim O'Reilly, seorang pakar dunia maya, memproklamasikan lahirnya Web 2.0 pada 2004. Apa itu Web 2.0? Banyak definisinya, tapi gampangnya adalah generasi baru Internet yang memungkinkan pemakai berkomunikasi, berpartisipasi, berinteraksi, berbagi, berkomunitas, atau berkolaborasi satu sama lain.

Kalau dulu dalam format Web 1.0, situs Internet begitu 'angkuh' karena statis, pasif, dan satu arah, kini dalam format Web 2.0 Internet menjadi demikian cool, fun, dan interaktif.

Kenapa bisa begitu? Karena Internet kini diperlengkapi dengan tools baru, sebut saja Web 2.0 tools, seperti blog, tags, wikis, RSS, dig, coComment, Internet messenger (IM), atau Ajax yang memang memungkinkan penduduk Internet berinteraksi intens satu sama lain.

Ambil contoh gampang blog. Dengan blog kita bisa menulis ide apa pun yang berseliweran di kepala kita. Setelah ide ditulis, kita juga bisa mengajak teman-teman untuk aktif berpartisipasi dengan berdiskusi atau sekadar ngobrol, memberikan komentar, menuangkan ide, atau memberi tanggapan. Itu berbeda dengan website yang dahulu kita kenal sebatas tempat mencari informasi.

Contoh lain adalah wikis. Barangkali ada di antara Anda yang sudah akrab dengan ensiklopedia paling komplet di dunia saat ini, yaitu Wikipedia. Anda tahu bagaimana Wikipedia tercipta? Berbeda dengan Ensiklopedia Britanica yang penulisannya dimonopoli oleh penerbitnya, Wikipedia ditulis oleh ribuan 'pakar' berbagai bidang di seluruh dunia yang bekerja secara sukarela dalam platform yang terbuka (open source).

Ribuan penulis Wikipedia tersebut berkolaborasi untuk menulis, mengedit, menyempurnakan informasi untuk mewujudkan ensiklopedia terkomplet di muka Bumi ini. Itu semua dimungkinkan karena adanya Web 2.0 tools, sebuah peranti lunak bernama wikis.

Dengan metamorfosis ini maka Internet pun 3600 berubah wajah: dari informatif menjadi partisipatif; dari interaksi one-way menjadi two-way; dari vertikal (top-down) menjadi horizontal (peer-to-peer); dari one-to-many menjadi many-to-many; dari mainstream menuju ke long tail; dari bersifat individual menjadi komunal/sosial. Meminjam Thomas Friedman, dunia maya sudah benar-benar luluh-lantak menjadi datar. "The world is really flat!" Kalau Internet telah menjadi mutan baru bernama Web 2.0, pertanyaan selanjutnya, apa pengaruhnya bagi dunia pemasaran? Berikut adalah beberapa konsekuensi dan peluang bagi para pemasar. Dari sekian banyak, saya hanya ambil tiga yang penting.

Market is conversations. Kehadiran blog memungkinkan siapa pun membicarakan perusahaan Anda, baik ataupun buruk. Blog (dan blogger) menjadi layaknya KPK yang bisa dengan mudah membongkar 'korupsi informasi' yang dilakukan sebuah perusahaan ke publik. Blog akan menjadi kaca transparan yang memungkinkan siapa pun bisa melihat isi perut perusahaan.

"No place to hide!!!", Anda tak bisa bersembunyi, Anda tak bisa mengelak, Anda tak bisa menjadi tiran yang begitu gampangnya menyensor suara-suara buruk stakeholder Anda. Kalau sudah begitu, yang harus Anda lakukan cuma satu: Join the conversations!!! Mau tidak mau, suka tidak suka, Anda harus melakukan dialog secara jujur, terbuka, dan bertanggung-jawab dengan siapapun yang menjadi stakeholder-nya. Pesannya bagi para pemasar jelas, bahwa trust dan kejujuran akan betul-betul menjadi penentu reputasi dan ekuitas merek Anda. "Trust is your real currency!!!"

Web Get Social. Fenomena paling dominan dari kemunculan Web 2.0 adalah bahwa tools yang dilahirkannya mendorong orang untuk berinteraksi antarsesamanya dan membentuk komunitas.

Kehadiran tools tersebut menjadikan siapa pun di muka Bumi ini begitu gampang membangun jejaring sosial (social networking) di mana mereka bisa begitu intens berinteraksi satu sama lain. Situs-situs seperti MySpace, Facebook, Second Life, YouTube, eBay, Flickr, LinkIn adalah contoh situs-situs yang kini begitu digandrungi karena memungkinkan setiap pengunjungnya berkomunitas dengan teman-teman dari seluruh dunia.

Mereka bisa curhat, berbagi, bersosialisasi, nampang, beropini, merekomendasi, atau memberi nasihat di antara teman-teman yang menjadi komunitasnya. Internet kini telah menjadi media sosial terbesar dalam sejarah umat manusia. PR bagi para marketer: "Ingat!!! Komunitas merupakan media ampuh untuk jualan."

Crowdsourcing & co-creation. Kehadiran Web 2.0 tools seperti blog, folksonomies, Ajax, atau wikis menjadikan pelanggan betul-betul powerful bagi perusahaan. Dengan tools tersebut mereka bisa terlibat dalam hampir semua proses yang ada di dalam perusahaan: riset kebutuhan pelanggan, pengembangan produk, pemasaran, atau customer service.

Coba Anda masuk ke situs-situs Starbuck (lihat www.mystarbucksidea.com), Mountain Dew (www.dewmocracy.com), Lego (www.mindstorms.lego.com) Linux (www.linux.com), Wikipedia (www.wikipedia.com). Dalam kasus-kasus itu Anda akan melihat bagaimana sentralnya peran pelanggan dalam merancang dan membangun produk.

Karena itu, belakangan ini istilah crowdsourcing dan co-creation menjadi begitu populer di dunia Web 2.0. Crowdsourcing adalah upaya menyerahkan sebagian proses di dalam perusahaan kepada komunitas pelanggan (misalnya: Lego Mindstorms dan Starbuck). Sementara co-creation adalah upaya mengajak pelanggan terlibat aktif dalam perancangan dan pengembangan produk (misalnya: Wikipedia dan Linux). Lagi-lagi peluang bagi para pemasar sejauh mungkin libatkanlah pelanggan dalam proses bisnis Anda.

Berbagai perubahan sebagai akibat terbentuknya Web 2.0 di atas menuntut para pemasar menggunakan pendekatan dan paradigma pemasaran baru. Anda para pemasar harus mulai meninggalkan pendekatan pemasaran tradisional (goodby 4Ps!!!) dan mulai bergeser menggunakan pendekatan pemasaran baru. Sebut saja pemasaran tradisional sebagai Marketing 1.0; dan pendekatan pemasaran baru sebagai Marketing 2.0.

Sebagai penutup, ingat PERINGATAN KERAS ini: "Embrace Marketing 2.0, or you will die!!!"

Wednesday, August 27, 2008

Survei: Jangan Jadikan Karyawan TI 'Sapi Perah'

Inggris - Seringkali karyawan TI harus bekerja lembur. Ironisnya, gaji mereka sering tidak sebanding dengan jumlah jam kerja. Ketika mengajukan protes, suara mereka tidak digubris.

Hal ini terungkap dalam sebuah survei yang digelar sebuah situs lowongan kerja di Inggris.

Survei yang melibatkan 500 karyawan TI ini mengungkap bahwa hampir separuh responden bekerja lebih lama daripada yang mereka lakukan dua tahun lalu. Lebih dari seperempat responden bekerja selama 48-60 jam per minggu. Walaupun 3/4 responden mengaku jam kerjanya tidak melebihi peraturan jam kerja di kawasan Eropa, yakni maksimal 48 jam per minggu. Sementara, sekitar 5 persen responden mengaku bekerja selama 60-75 jam dalam seminggu.

Dikutip detikINET dari Vnunet, Rabu (27/8/2008), jumlah jam kerja yang melampaui batas ini merugikan karyawan. Sekitar 40 persen responden menyebutkan bahwa kesehatan mereka menjadi terganggu, 64 persen mengaku bahwa kehidupan sosial mereka menjadi terganggu, dan 41 persen mengaku tidak memiliki kehidupan sosial.

"Majikan harus bertanggung jawab terhadap dampak jumlah jam kerja berlebihan yang dapat merugikan kesehatan karyawan," tandas Alex Farrell, managing director www.theitjobboard.co.uk.

Hanya 10 persen karyawan TI yang mengaku mendapat gaji tambahan untuk kerja lembur, walaupun lebih dari separuhnya mengaku harus membawa pulang pekerjaan tambahan tersebut. Kendati mendapat perlakuan yang kurang adil, hanya 15 responden yang mengaku mengajukan protes kepada pimpinan mereka. Malangnya, sekitar 80 persen dari yang mengajukan komplain mengaku tidak mendapat tanggapan dari pimpinannya.

Bagaimana dengan nasib karyawan TI di Indonesia?Sampaikan pendapat Anda di detikINET Forum!

( faw / dwn )
Fransiska Ari Wahyu - detikinet

Tuesday, August 26, 2008

Tak mudah menaklukkan lidah orang Indonesia

Selera orang Indonesia punya ciri khas karena itu pebisnis nomor satu dunia sekalipun tidak akan mampu meraih sukses jika tidak bisa beradaptasi dengan lidah konsumen lokal.

Setidaknya ini dibuktikan lembaga riset pasar Frontier Consulting Group. Banyak produk kelas dunia tak semua sukses di pasar Indonesia, karena gagal menaklukkan lidah orang lokal.

Merek donat teratas dunia Krispy KrŠme, misalnya. Donat yang berjaya di AS ini tidak kunjung mematahkan pesaingnya di pasar donat Indonesia, terutama J. Co, merek lokal yang diusung Johnny Andrean.

Krispy Kreme yang manis dan besar menjadi pertimbangan perempuan Indonesia yang peduli dengan berat badannya. Biasanya seorang wanita berat tubuhnya sudah 50 kg langsung berdiet, dan menjauhi makanan yang terlalu manis.

Di sini, Campbell Soup berusaha mengulang suksesnya di AS, tetapi juga tidak kunjung mendapatkan hasil signifikan. Pasalnya, Campbell Soup ingin menerapkan perilaku sarapan yang baru, yaitu melahap sup.

Berdasarkan pengamatan Frontier, kebiasaan sarapan orang Indonesia tidak berubah sejak 15 tahun terakhir, dengan empat menu favoritnya nasi goreng, roti, bubur, dan mi instan.

Nasib serupa dialami Kellogg Cereal. Demikian pula dengan Coca Cola yang terus berinovasi untuk mematahkan pesaingnya di pasar minuman ringan. Terakhir dengan Diet Coke. Akan tetapi produk dalam negeri Teh Botol Sosro tetap lebih berkibar.

Beda lagi dengan Pocari Sweat. Produsen minuman untuk menyegarkan tubuh ini pantang menyerah dan akhirnya sukses di pasar Indonesia. Adapun produk sejenis asal AS bermerek Gatorade berusaha kembali setelah sempat menghilang dari pasar.

Semua bukti yang membeberkan sukses di negeri orang belum tentu berhasil di Indonesia, menandakan selera orang Indonesia memang unik. Keunikan mesti dipelajari dan diadaptasi, termasuk oleh pebisnis makanan dan minuman papan atas.

"Faktanya 90% buku pemasaran berasal dari Amerika Serikat, tapi tidak semua teori itu cocok dengan konsumen di Indonesia, karena sikap masyarakat yang berbeda," kata Handi Irawan D., Chairman Frontier Consulting Group.

10 Karakter unik

Frontier yang lama berkecimpung dalam riset pasar di Indonesia mengemukakan 10 karakter unik konsumen Indonesia.

Pertama, memiliki memori jangka pendek, maunya mendapatkan produk yang paling menguntungkan dan bisa digapai saat ini. Misalnya, memilih makanan enak daripada yang menyehatkan, memilih obat yang cespleng daripada yang aman, dan lebih suka menegak minuman penambah tenaga daripada mengonsumsi vitamin.

Kedua, tidak memiliki perencanaan. Sekitar 74% konsumen membeli makanan ringan tanpa rencana. Iming-iming dari penjualan akan memengaruhi konsumen yang umumnya kurang menghargai waktu dan memiliki gaya hidup santai.

Ketiga, suka berkumpul. Untuk memutuskan membeli suatu produk, kebanyakan konsumen di Indonesia memilihnya berdasarkan informasi yang diterima dari keluarga, teman, atau rekan keja.

Keempat, umumnya gagap teknologi.

Kelima, mengutamakan konteks bukan isi.

Keenam, suka buatan luar negeri, yang dipicu oleh rendahnya nasionalisme dan kualitas produk lokal.

Ketujuh, beragama dan suka supranatural.

Kedelapan, suka pamer dan gengsi yang dipicu oleh budaya feodal dan percaya diri yang rendah.

Kesembilan, kekuatan sub-culture.

Kesepuluh, rendah kesadaran terhadap lingkungan.

Dari 10 karakter itu, yang akan menguat dalam 10 tahun mendatang adalah suka produk luar negeri, pamer, dan gengsi, suka berkumpul dan beragama, serta percaya hal-hal supranatural.

Jika dikaitkan dengan produk makanan dan minuman, barangkali pada masa mendatang akan makin banyak restoran yang bisa menjadi ajang berkumpul, bermerek asing terutama yang membidik pasar menengah ke atas karena ada unsur pamer dan gengsi.

Namun, tetap saja merek asing terkenal bukan jaminan sukses di pasar Indonesia, apalagi bila tidak memahami selera lidah Indonesia. (linda.silitonga@bisnis.co.id)

Hasil survei tak harus ditelan mentah-mentah

oleh : Yeni H. Simanjuntak

"Pramugari kami memang 10 tahun lebih tua dari yang Anda harapkan. Namun, pengalaman mereka akan membuat penerbangan Anda lebih aman."

Rangkaian kalimat itu merupakan saran dari Handi Irawan, Chairman Frontier Consulting Group, perusahaan penyedia jasa pengukuran tingkat kepuasan pelanggan, kepada wakil dari salah satu maskapai penerbangan yang mengeluhkan hasil survei terhadap para penumpang mereka.

Dari hasil survei itu diketahui sebagian penumpang mengharapkan pelayanan dari pramugari yang berusia lebih muda. Hasil survei yang cukup membuat pusing para pengambil kebijakan di perusahaan itu.

"Harus dikomunikasikan kepada pelanggan Anda. Bisa dengan kalimat yang saya contohkan tadi. Jadi, jangan langsung mengganti seluruh pramugari Anda. Harus diselidiki apakah mereka itu frequent flyer. Jangan-jangan keluhan itu dari orang yang hanya sekali-kali terbang," saran Handi.

Sebagian perusahaan di Indonesia, terutama di sektor jasa, memang mulai menilai penting kepuasan konsumen mereka. Untuk itu, survei menjadi salah satu jawabannya. Lewat survei, perusahaan penyedia jasa bisa mendapatkan respons dari konsumen.

Konsumen menjadi sangat penting bagi produsen untuk mempertahankan pangsa pasar mereka, di tengah ketatnya persaingan dunia usaha saat ini.

Kebutuhan untuk mempertahankan dan memperbesar pangsa pasar itulah yang membuat industri jasa pengukuran tingkat kepuasan pelanggan/ konsumen tumbuh subur.

Handi memperkirakan bisnis penyedia jasa itu tumbuh rata-rata 30% setiap tahun, dalam lima tahun terakhir. Setidaknya, ada 10 perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang penyedia jasa pengukuran tingkat kepuasan pelanggan.

Namun, produsen juga harus bijak membaca hasil survei. "Jangan membuang uang untuk hal-hal yang belum bisa dipastikan dampaknya terhadap kepuasan pelanggan. Tugas Anda [produsen] adalah mencari cara paling efisien untuk memuaskan pelanggan," ujar Forrest V. Morgeson, Direktur Tim American Customer Satisfaction Index.

Hasil survei memang tidak untuk ditelan mentah-mentah. Bahkan, indeks kepuasan pelanggan yang dihasilkan perusahaan riset sekalipun masih membutuhkan 'kecerdasan' untuk dapat diimplementasikan lewat kebijakan korporasi. (yeni.simanjuntak@bisnis.co.id)