Banyak orang yang kemudian menghindari bidang ini. Meskipun tidak dapat membuktikan secara empirik. Hal ini menjadi penyebab beberapa kehebohan dan hal-hal yang tidak perlu terjadi di Indonesia.
Fakta yang berkaitan dengan kemunculan varietas Super Toy atau adanya saling klaim pemenang pemilihan kepala daerah (pilkada) di Sumatera Selatan berdasar perkiraan cepat (quick count) menjadi indikasi bahwa rakyat dan bahkan pejabat kita belum cukup melek statistika (statistics literate).
Mari kita lihat dulu fenomena saling klaim pemenang pilkada. Maraknya pilkada di pelosok negeri ini diikuti dengan maraknya bisnis survei dan jasa pelaksanaan quick-count.
Pada prinsipnya kegiatan ini adalah memberikan dugaan besarnya persentase suara dari setiap kandidat peserta pilkada berdasarkan data suara dari sebagian kecil tempat pemungutan suara. Perlu digarisbawahi bahwa hasil perhitungannya adalah dugaan yang tentu memiliki kemungkinan salah.
Tentu saja pelaksananya berupaya meminimumkan kesalahan itu. Tetapi, apa pasti hilang? Tidak. Hanya saja tingkat kesalahannya bisa kecil dengan memilih metode yang tepat dan jumlah sampel TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang cukup.
Karena namanya dugaan yang didasarkan pada sebagian TPS hasilnya bisa saja meleset dengan hasil perhitungan suara secara keseluruhan. Dalam banyak buku statistika sering digambarkan orang buta yang disuruh mendeskripsikan gajah.
Kalau dia hanya pegang ekornya saja, sebagian dari tubuh gajah, maka kemungkinan dia akan bilang kalau gajah itu kecil panjang. Beda lagi kalau orang tersebut pas memegang telinganya. Itu kenapa kalau ada dua lembaga melakukan quick-count hasilnya bisa berbeda.
Hasil quick-count juga demikian. Kalau sampel yang diambil kebetulan (tidak
disengaja karena dilakukan secara acak) banyak dari TPS yang merupakan basis pendukung kandidat pertama maka kandidat pertamalah yang diduga menang. Tapi, sebaliknya. Dugaan menang bagi kandidat kedua.
Jadi perlu diingatkan pada masyarakat dan pejabat partai bahwa kalau ada lembaga tertentu mengatakan bahwa kandidatnya menang. Jangan terburu-buru mengadakan pesta kemenangan. Itu kan cuma dugaan. Jadi redaksinya adalah, "Kandidat Anda kami duga menang" bukan "Kandidat Anda menang." Sekali lagi karena hanya dugaan maka bisa salah.
Penyelenggara quick-count tentu saja harus mengemukakan proses pemilihan sampel dan pengihitungan tingkat kesalahannya agar menjadi pijakan yang cukup bagi para simpatisan. Kalau itu tidak disampaikan tidak berlebihan kiranya kalau saya mengatakan bahwa jangan lihat hasil dugaan lembaga penyelenggara quick-count tersebut.
Masyarakat yang tidak paham statistika --termasuk istilah sampel, survei, dan
tingkat kesalahan dugaan, mungkin saja akan menelan mentah-mentah informasi hasil quick-count. Melihat kandidatnya unggul dalam jumlah suara langsung merayakan kemenangan.
Padahal, kalau quick-count mengatakan hasil suara 52%, maka nilai proporsi suara bisa jadi lebih tinggi atau lebih rendah dari itu tergantung tingkat kesalahan prediksinya. Dengan selisih yang semakin jauh dibandingkan lawan Anda bisa lebih yakin dengan kemenangan.
Kasus saling klaim pemenang Pilkada Sumatera Selatan barangkali menjadi gambaran bahwa masyarakat harus diberikan wawasan lebih mengenai statistika. Tentu saja tidak dalam konteks seperti perkuliahan. Saya sangat bergembira kalau setelah ini banyak ahli pendidikan dan pembelajaran menyampaikan ide membangun gerakan nasional pembelajaran statistika.
Bagaimana dengan kasus Super Toy. Kembali kurangnya pemahaman dan kepedulian menggunakan statistika menjadi hal perlu dicurigai. Kenapa demikian?
Varietas yang akan dilempar ke masyarakat tentu harus menjalani proses percobaan yang tidak sederhana. Tapi, juga tidak rumit. Karakteristik agroekosistem varietas tersebut harus dipastikan sehingga lokasi yang dijadikan tempat budi daya sesuai dengan sifat-sifat genetiknya.
Nah, pengambilan kesimpulan ini haruslah didasarkan pada pelaksanaan percobaan yang dirancang dengan baik. Proses multi-location trial yang baik akan memberikan gambaran apakah varietas kita stabil di berbagai agroekosistem atau hanya dapat tumbuh baik di agroekosistem tertentu.
Bahkan, mungkin perlu juga dilakukan pada musim yang berbeda. Pengambilan kesimpulan yang baik memerlukan pula jumlah ulangan yang cukup untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih meyakinkan.
Di sinilah adanya tuntutan pemahaman terhadap statistical experimental design yang memadai oleh peneliti. Dia tidak harus seorang statistikawan. Tapi, dia harus punya wawasan cukup untuk itu.
Melibatkan peneliti dari bidang statistika akan menjadi keuntungan tersendiri. Ilmu statistika dapat membantu mendapatkan rancangan yang robust sehingga kesimpulan tentang varietas unggul dapat dilakukan pada berbagai kondisi agroekosistem.
Kaidah ilmiah yang digunakan dalam proses percobaan memiliki sifat dapat diulang (repeatable), sehingga kita bisa lebih teryakinkan dengan hasil yang diperoleh. Percobaan tanpa rancangan dapat memperoleh hasil yang hanya berupa kebetulan. Dengan hasil panen yang kebetulan besar kita tidak boleh melakukan generalisasi.
Lagi-lagi masyarakat dan peneliti serta pejabat harus dapat memahami konteks ini dengan baik. Pengetahuan statistika yang memadai pada berbagai level peran kita di masyarakat akan menghindarkan kita dari kejadian-kejadian kebetulan yang tidak berlaku umum.
Akhirnya, ajakan untuk gerakan nasional pembelajaran statistika perlu mendapat dukungan masyarakat luas. Tidak harus selalu dalam bentuk pembelajaran formal untuk dapat membawa kita memahami statistika dengan lebih baik. Namun, dorongan penyelenggaraan di tingkat formal akan membantu banyak.
Dalam suatu konferensi internasional statistika dan matematika di Bogor awal bulan Agustus 2008 kemarin Profesor Maman Djauhari mengingatkan kepada kita semua bahwa dari sekitar 2.500 perguruan tinggi di Indonesia hanya ada 8 perguruan tinggi yang memiliki jurusan atau departemen statistika.
Bagus Sartono
Van Stralenstraat 100 Antwerpen-Belgium
bagusco4@yahoo.com
+32486889956
(msh/msh)
Source: http://suarapembaca
No comments:
Post a Comment